KENDARI, SULTRACK.COM – Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), paparkan perkembangan investasi hilirisasi sektor Mineral dan Batubara (Minerba) di Sultra Tahun 2024, Jumat (28/6/2024).
Hal itu disampaikan oleh Sekertaris DPMPTSP, H. Joni Fajar, S.Sos., M.AB, saat kegiatan Rapat Kordinasi Daerah (Rakorda) oleh Kementerian Investasi/BKPM di salah satu Hotel Kendari, yang dihadiri pelaku usaha, Lembaga, Instansi dan lainnya.
Pada kesempatan itu, Joni Fajar menyampaikan bahwa, Sulawesi Tenggara merupakan Provinsi yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), yang memiliki enam potensi unggulan diantaranya, pertambangan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan pariwisata.
“Sesuai arahan Presiden RI terkait target investasi secara nasional 1.650 Triliun, maka Provinsi Sulawesi Tenggara untuk Tahun 2024, diberikan target investasi sebesar Rp. 25,61, dari target ini capaian realisasi pada triwulan I 2024 sebesar 2,675T atau 4,8%, dengan data tersebut diharapkan pada triwulan II sampai dengan triwulan IV dapat tercapai,” ucapnya.
Lanjutnya, hilirisasi sektor Mineral dan Batubara (Minerba) adalah proses pengolahan bahan mentah, dari sektor pertambangan menjadi produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi sebelum dijual atau diekspor.
“Tujuan utama dari hilirisasi ini adalah untuk meningkatkan nilai ekonomi dari komoditas yang dimiliki, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong perkembangan industri lokal. Dalam konteks Indonesia, hilirisasi minerba telah menjadi fokus utama pemerintah untuk mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA),” paparnya.
Lebih lanjut kata Plh Kepala DPMPTSP Provinsi Sulawesi Tenggara ini, beberapa langkah yang diambil meliputi pembangunan smelter untuk mengolah bijih nikel, tembaga, bauksit, dan mineral lainnya menjadi produk setengah jadi atau produk jadi. Misalnya, bijih nikel diolah menjadi feronikel atau nikel matte yang digunakan dalam industri baja dan baterai.
“Meski begitu capaian realisasi investasi Tahun 2024, Sulawesi Tenggara memiliki hambatan, misalnya seperti industri baru yang pada tahap konstruksi, belum maksimal investasinya karena adanya hambatan pada perizinan dasar diantaranya, izin lingkungan dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR),” bebernya.
Kemudian sambung dia, industri yang sudah pada tahap produksi tidak lagi melakukan investasi pada pembelian lahan, pembangunan gedung, dan pembelian peralatan.
“Serta, terhambatnya 2 Proyek Strategis Nasional (PSN), PT Kendari Kawasan Industri Terpadu (KKIT) (Kawasan Industri di Kota Kendari) dan PT Nusantara Industri Sejati (Kawasan Industri Motui di Kabupaten Konawe Utara). Terhambatnya terbit RKB sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan operasi produksi, dan kuota Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) terbatas,” pungkasnya.
Editor: Redaksi
Discussion about this post