KENDARI, SULTRACK.COM – Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), merupakan wilayah dengan sumber daya dan cadangan logam nikel terbesar di Indonesia, dengan jumlah sumber daya sebesar 61,3 juta ton dan cadangan sebesar 20,4 juta ton, Senin (1/7/2024).
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulawesi Tenggara, Parinringi, dikatakannya saat ini sudah terdapat 4 fasilitas peleburan (smelter) nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang tersebar di Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe, dan Kabupaten Konawe Selatan.
“Adanya fasilitas smelter tersebut berkontribusi pada besarnya ekspor yang berasal dari golongan besi dan baja berupa Ferronickel (FENI), Nickel Pig Iron (NPI), dan baja tahan karat,” paparnya.
Lanjutnya, pada Tahun 2023, total nilai ekspor Provinsi Sulawesi Tenggara mencapai $4,27 miliar dan 89,29% disumbang oleh besi dan baja. Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan Provinsi Sulawesi Tenggara, dalam kurun waktu 6 tahun terakhir (Tahun 2017-2022) terus mengalami peningkatan.
“Pada Tahun 2022 yang lalu dari Rp1,2 triliun target PNBP yang ditetapkan, realisasinya mencapai 4,4 triliun rupiah. Dilihat dari sisi ekonomi, pelaksanaan hilirisasi di komoditas nikel manfaat yang diterima sudah dapat terukur. Namun, dari sisi yang lain yaitu sosial dan lingkungan masih memerlukan kajian yang lebih mendalam karena dilihat dari salah satu indikator kesejahteraan seperti angka kemiskinan pada Tahun 2023,” terangnya.
Lebih jauh kata Pj Bupati Buton Selatan ini, di Kabupaten-kabupaten lokasi smelter masih berada di angka dua digit seperti Konawe (13,02%), Konawe Selatan (11,26%), Kolaka (11,80%). Begitupun terkait dampak lingkungan yang harus dikaji lebih mendalam.
“Selain nikel, komoditas strategis lainnya pada peta jalan HIS adalah aspal Buton. Saat ini aspal Buton merupakan produk yang diproyeksikan dapat bersaing dengan aspal minyak di pasar. Namun, produksi aspal Buton hanya mencapai 30% dari kapasitas terpasang, sehingga belum dapat menjadi substitusi impor produk aspal minyak,” ungkapnya.
Di sisi lain, tambah dia, impor aspal justru tumbuh berturut-turut sebesar 6% pada Tahun 2022 dan 15% pada Tahun 2023. Hingga saat ini, sebesar 95% dari 5 juta aspal cair yang digunakan masih merupakan aspal impor. Salah satu faktor utamanya dikarenakan harga aspal impor lebih murah US$400 per ton dibandingkan dengan aspal Buton.
“Untuk mendorong pemanfaatan aspal Buton, pemerintah telah menerbitkan regulasi mendukung penggunaan produk dalam negeri,” pungkasnya.
Editor: Redaksi
Discussion about this post