JAKARTA, SULTRACK.COM – Aktivitas PT AHB dan TMS di Pulau Kabaena, selain disebut penyebab utama kerusakan lingkungan di Pulau Kabaena, juga diduga melanggar Undang-Undang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil, Selasa (10/9/2024).
Pulau Kabaena, yang seharusnya dilindungi, kini terkepung oleh tambang nikel. Peneliti Satya Bumi, Sayiidattihayaa Afra, mencatat sekitar 73%, yaitu 650 km² dari 891 km² total luas Kabaena, telah diserahkan kepada perusahaan tambang.
Berdasarkan laporan terbaru yang dirilis oleh tim peneliti dari Satya Bumi dan WALHI Sulawesi Tenggara (Sultra), yang menyoroti kerusakan lingkungan yang signifikan di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, akibat eksploitasi nikel yang masif.
Laporan berjudul “Bagaimana Demam Nikel
Menghancurkan Pulau Kabaena dan Ruang Hidup Suku Bajau” mengungkap dampak destruktif, dari industri tambang terhadap ekosistem pulau, kesehatan masyarakat, dan kelangsungan hidup tradisional suku Bajau dan Moronene.
Sayiidattihayaa Afra, mengungkapkan aktivitas perusahaan di Pulau Kabaena, melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No 1/2014) melarang tambang di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km².
“Namun, di Kabaena, pelanggaran aturan ini terlihat jelas. Tambang-tambang nikel kini mendominasi pulau, menggusur hutan, mencemari laut, dan mengubah kehidupan masyarakat setempat,” beber Hayaa di Jakarta, Senin (9/9/2024).
Padahal lanjut dia, pulau kecil mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim dan masyarakat yang ada di pulau kecil tak punya diversifikasi pendapatan.
“Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011 yang mengubah
status hutan di Kabaena dari hutan lindung menjadi hutan produksi, membuka pintu
bagi perusahaan tambang untuk masuk. Hingga kini, 40% dari izin usaha pertambangan yang diterbitkan di pulau ini telah beroperasi, sementara sisanya bakal menyusul,” ungkapnya.
Lebih jauh kata Haya, aktivitas pertambangan di Kabaena telah menyebabkan deforestasi besar-besaran. Data menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, sebanyak 3.374 hektar hutan, termasuk 24 hektar hutan lindung, telah habis digunduli perusahaan, seperti PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).
“Mereka menjadi salah satu kontributor terbesar dengan deforestasi seluas 641 hektar. Sementara itu, PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) mencatat deforestasi sebesar 295 hektar dalam tiga tahun terakhir,” rincinya.
Editor: Redaksi
Discussion about this post