Oleh: Dr. Maulana Saputra Sauala, S.H., M.Kn
Praktisi Hukum dan Pemerhati Tata Kelola Pemerintahan
SULTRACK.COM – Nama Siska Karina Imran, Wali Kota Kendari, tiba-tiba menjadi sorotan dalam pusaran kasus dugaan korupsi anggaran makan dan minum di Sekretariat Daerah Kota Kendari. Penyebutan namanya oleh saksi di ruang sidang, yang seharusnya hanya sebatas proses pembuktian, justru berkembang liar menjadi bahan penghakiman sosial. Seakan-akan Siska telah bersalah, padahal secara hukum beliau belum pernah ditetapkan sebagai tersangka, apalagi dinyatakan bersalah di pengadilan.
Kondisi ini mengingatkan kita pada bahaya opini sesat yang bisa merusak sendi keadilan. Lebih dari itu, peristiwa ini menjadi cermin bagaimana hukum sering kali ditarik-tarik dalam pusaran kepentingan politik, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Asas Praduga Tak Bersalah: Pilar Yang Mulai Terkikis
Sebagai bangsa yang mengaku menjunjung hukum, kita seharusnya memegang teguh prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Prinsip ini bukan hiasan dalam kitab undang-undang, tapi jantung keadilan itu sendiri.
Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebut:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan ke depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Namun apa yang kita saksikan hari ini? Opini publik, media sosial, dan bisik-bisik politik sering kali menjadi hakim tanpa toga, menjatuhkan vonis tanpa proses. Hanya karena seorang saksi menyebut nama Siska di persidangan, gelombang opini liar terbentuk, seolah beliau telah bersalah. Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 184 KUHAP, keterangan saksi hanyalah salah satu alat bukti yang harus diuji, bukan satu-satunya kebenaran.
Politik di Balik Opini: Siapa Diuntungkan?
Kita tidak boleh naif. Politik adalah panggung kepentingan. Dalam konteks lokal Kendari, Siska Karina Imran bukan sekadar Wali Kota. Ia adalah simbol kekuatan politik yang bersih, pemimpin perempuan yang berani melakukan reformasi birokrasi, dan figur yang tak jarang dianggap sebagai ancaman bagi kelompok tertentu.
Dalam sejarah politik Indonesia, sering kita saksikan bagaimana isu hukum kerap dipolitisasi. Kasus-kasus tertentu dibesar-besarkan bukan untuk menegakkan hukum, tetapi untuk menggembosi lawan politik, menjatuhkan kredibilitas, atau mengganggu stabilitas kepemimpinan. Tidak sedikit kepala daerah yang di tahun-tahun politik menjelang pilkada atau pemilu mendadak dikaitkan dengan kasus hukum, meski bukti nyatanya tak pernah ada.
Kita patut bertanya:
1. Apakah penyebutan nama Siska ini murni soal hukum, atau ada agenda politik yang membonceng?
2. Siapa yang diuntungkan jika nama Siska tercoreng di mata publik, padahal ia belum pernah dinyatakan bersalah?
Bahaya Penghakiman Opini Bagi Demokrasi
Jika opini sesat ini dibiarkan, maka bukan hanya Siska Karina Imran yang menjadi korban. Demokrasi kita akan makin rapuh. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada proses hukum, karena hukum kalah oleh opini. Ruang publik menjadi bising oleh fitnah, hoaks, dan framing yang merusak.
Dalam jangka panjang, ini akan melahirkan budaya politik yang kotor: siapa pun bisa dijatuhkan hanya dengan bisikan, tanpa harus menunggu pengadilan. Hukum tak lagi jadi panglima, opini yang jadi penguasa.
Seruan Untuk Masyarakat Cerdas
Sebagai praktisi hukum, saya mengajak masyarakat untuk:
1. Jangan mudah percaya pada opini liar tanpa dasar hukum yang sah.
2. Hormati proses hukum dan biarkan kebenaran dibuktikan di pengadilan, bukan di media sosial.
3. Waspadai politisasi kasus hukum, terutama di tahun-tahun politik.
4. Lindungi setiap warga negara, termasuk Siska Karina Imran, dari fitnah dan penghakiman sosial.
Penutup: Tegakkan Hukum, Bukan Opini
Hari ini, kita diuji sebagai bangsa, apakah kita mau menegakkan hukum berdasarkan fakta, atau kita biarkan opini menggiring kita menjadi bangsa yang gemar menghakimi tanpa bukti?
Siska Karina Imran hari ini hanyalah seorang pemimpin yang namanya disebut di persidangan. Bukan tersangka. Bukan terdakwa. Bukan terpidana. Jangan biarkan keadilan direnggut hanya karena opini. Mari kita jaga marwah hukum, untuk masa depan demokrasi yang lebih sehat dan bermartabat.