JAKARTA, SULTRACK.COM – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Nusantara (PANTARA) dan Generasi Mahasiswa Intelektual Indonesia (GMII), menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Kejaksaan Agung RI. Aksi ini berlangsung ricuh setelah massa aksi mencoba merangsek ke depan gerbang utama dan dihadang aparat keamanan, Jumat (3/10/2025).
Mahasiswa menuntut Kejaksaan Agung segera mengusut tuntas kasus kebakaran pabrik ban bekas milik PT Sulawesi Giat Hurali (SGHI) dan CV WXY Dragon Sukses di Desa Lebo Jaya, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Mereka menilai peristiwa kebakaran tersebut tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga membuka tabir adanya praktik minyak ilegal, pelanggaran keselamatan kerja, dan dugaan mafia perizinan.
Berdasarkan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh Polresta Kendari, ditemukan sejumlah kejanggalan serius. Aparat mendapati adanya aktivitas produksi minyak dalam skala besar yang dilakukan tanpa izin resmi, serta tanpa standar keselamatan kerja. Di lokasi, ditemukan bak penampungan berkapasitas 41 kiloliter, menara plastik berkapasitas 5 kiloliter, serta puluhan drum 100 liter berisi minyak hasil olahan. Bahkan, 40 drum diantaranya diketahui siap untuk didistribusikan ke Morowali, menandakan adanya jaringan distribusi gelap.
Selain itu, aparat juga menemukan sejumlah barang bukti berupa kabel dan selang terbakar, limbah cair, sisa ban bekas, dokumen kontrak, hingga spanduk perusahaan. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa operasional perusahaan bukan hanya ilegal, melainkan juga disertai dengan upaya melegitimasi aktivitas melalui dokumen kontrak yang patut dicurigai.
Dari aspek keselamatan kerja, kondisi di lapangan sangat memprihatinkan. Pabrik tidak memiliki jalur evakuasi, pekerja hanya menggunakan sepatu tanpa APD standar, tidak pernah mendapatkan pelatihan keselamatan kerja, dan tidak terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap ketentuan K3 sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1970.
Lebih jauh, lahan operasional pabrik diduga merupakan milik seorang anggota DPRD Konawe Selatan (Konsel), sementara operasional perusahaan juga melibatkan rekanan CV WXY Dragon Sukses. Dugaan keterlibatan unsur politik dan bisnis ini memperkuat adanya konflik kepentingan dalam kasus tersebut.
Adapun penyebab kebakaran diduga berasal dari korsleting listrik saat proses produksi minyak dengan metode pirolisis dari ban bekas. Proses yang berbahaya dan dilakukan tanpa standar keselamatan memperlihatkan kelalaian fatal dari pihak perusahaan, sekaligus lemahnya pengawasan pemerintah daerah dan kementerian terkait.
“Kebakaran pabrik ban di Konsel, bukan sekadar musibah, tapi skandal besar yang melibatkan minyak ilegal dan mafia perizinan. Jika Kejagung tidak segera bertindak, berarti hukum di negeri ini benar-benar tumpul ke atas tapi tajam ke bawah,” beber Koordinator Lapangan, Edrian Saputra dalam orasinya.
Sementara itu, penanggung jawab aksi, Adit Pratama menambahkan, penegasan saat di wawancarai menambahkan, kasus kebakaran pabrik ban milik PT SGHI bukan sekadar kecelakaan industri, tetapi merupakan pelanggaran sistematis terhadap hukum lingkungan, hukum ketenagakerjaan, dan hukum energi di Indonesia.
“Secara akademis, ada tiga aspek utama yang dilanggar pertama, pelanggaran UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH karena tidak adanya izin lingkungan dan pengelolaan limbah B3. Kedua, pelanggaran UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas karena minyak pirolisis yang diproduksi jelas ilegal. Ketiga, pelanggaran UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja karena pekerja dibiarkan tanpa perlindungan dan jaminan BPJS,” paparnya.
Lebih lanjut, Adit menegaskan jika ditinjau dari perspektif akademis, kasus ini adalah contoh nyata praktik state capture, dimana kepentingan politik bercampur dengan bisnis, sehingga hukum lumpuh.
“Oleh karena itu, kami mendesak Kejaksaan Agung bertindak independen, tanpa intervensi politik, agar hukum benar-benar menjadi panglima. Bila tidak, negara akan semakin kehilangan kepercayaan dari rakyat,” pungkasnya.
Adapun tuntutan mahasiswa yakni:
1. Kejaksaan Agung RI segera mengambil alih kasus PT SGHI dari aparat daerah.
2. Menetapkan tersangka baik dari unsur perusahaan maupun oknum politik yang terlibat.
3. Mengusut dugaan korupsi dan intervensi politik dalam proses perizinan.
4. Menegakkan hukum lingkungan, sesuai UU No. 32/2009 tentang PPLH dan UU No. 22/2001 tentang Migas.
5. Memastikan keadilan bagi korban serta pemulihan lingkungan akibat limbah B3.
Meski sempat ricuh, aksi tetap berlangsung hingga sore hari dengan pengawalan ketat aparat Kepolisian. Massa aksi menegaskan akan kembali turun dengan jumlah lebih besar apabila Kejaksaan Agung tidak segera mengambil langkah hukum yang tegas.
Editor: Redaksi