KONKEP, SULTRACK.COM – Angka kemisikinan di Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), terus meningkat dari tahun ke tahun, Sabtu (10/8/2024).
Hal itu berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), yang kembali mengeluarkan data terbarunya mengenai garis kemiskinan di Kabupaten Kota se Indonesia.
Berdasarkan catatan BPS, garis kemiskinan di Kabupaten Konawe Kepulauan terus meningkat dari Tahun 2022 hingga 2024.
Dimanai garis kemiskinan Konawe Kepulauan pada Tahun 2022 sebesar 370.692. Pada Tahun 2023 yakni 393.000.
Garis Kemiskinan tersebut terus mengalami peningkatan hingga catatan BPS pada Tahun 2024 sebesar 415.880.
Padahal diketahui bahwa, di Kabupaten Konawe Kepulauan terdapat salah satu perusahaan tambang beroperasi, sebut saja PT Gema Kreasi Perdana (GKP).
Semestinya, dengan adanya aktivitas pertambangan disuatu wilayah, memberikan kesejahteraan, lewat penyerapan tenaga kerja maupun lainnya. Namun hak tersebut berbanding terbalik.
Melansir dari CNN Indonesia, Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti menilai kemiskinan di wilayah kaya tambang menunjukkan adanya permasalahan struktural.
Menurutnya, Sumber Daya Alam (SDA) yang diambil suatu daerah mestinya bisa berdampak kepada masyarakat dan juga daerah mengenai Garis Kemiskinan.
“SDA harus berdampak pada masyarakat. Hilangnya sumber daya ini harus diganti dengan sumber daya yang lebih baik dan bersifat keberlanjutan, misal peningkatan human capital atau masyarakat sekitar menjadi lebih pintar,” tegas Yayan.
Di lain sisi, Yayan mengatakan anomali yang terjadi berkaitan dengan hipotesis kutukan SDA. Yayan mengatakan kutukan tersebut sebenarnya bisa saja ditangkis, jika negara membuat natural resource fund. Konsep ini disebut mirip seperti Petroleum Fund di Norwegia.
Jadi, menurutnya, mesti ada lembaga khusus yang dibentuk pemerintah untuk mengelola natural resource fund untuk mengganti SDA yang hilang menjadi sumber daya lain yang dapat diperbaharui.
“Saat ini memang ada yang disebut Dana Bagi Hasil (DBH) SDA, seperti batu bara. Tampaknya karena tidak ada budget tagging atau earmark bahwa DBH SDA harus kembali ke konservasi sumber daya alam, (sehingga) menjadi instrumen fiskal kurang ramah lingkungan,” imbuhnya.
Editor: Redaksi
Discussion about this post