KOLAKA, SULTRACK.COM – Penyidik Unit II Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Kolaka, gelar penataan batas tanah dengan menghadirkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kolaka, atas dugaan penyerobotan dan pengrusakan lahan warga di Kelurahan Anaiwoi, Kecamatan Tanggetada, Jumat (14/2/2025).
Agenda penataan batas tanah ini, untuk menindaklanjuti aduan pelapor serta para terlapor, atas dugaan penyerobotan dan pengrusakan lahan. Selanjutnya keduanya diberikan kesempatan untuk menunjukkan batas lahan yang mereka klaim.
Survei Pemetaan Seksi I Kantor BPN Kolaka, Asmanto Sultan mengatakan, pihaknya sudah mengambil data penataan batas dari masing-masing pihak yang mengklaim lahan tersebut.
“Versinya ada dua yang diklaim, pemohon (pelapor) dan masyarakat (terlapor). Kami ukur penataan batas tanah yang mereka klaim,” ucapnya.
Selanjutnya, pasca penataan batas lahan dilakukan, BPN kemudian akan melihat posisi tanah yang diklaim oleh pelapor berdasarkan sertifikat atau Surat Hak Milik (SHM) tanah.
“Nanti kita dudukan, di posisi sertifikat dimana, benarkah mereka klaim antara kedua belah pihak, dan kesimpulan dari agenda hari ini, kita akan panggil penggugat dan masyarakat (terlapor),” jelasnya.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Kolaka, Iptu Hastantya Bagas Saputra menerangkan penataan batas ini, adalah tindak lanjut daripada Laporan Polisi (LP) yang dilayangkan oleh Abdul Latif Tahun 2019 dan Hasrul La Aci 2024.
“Tadi sudah dilakukan identifikasi lapangan dari Pak Imran (keluarga pelapor), dan masyarakat yang diduga melakukan penyerobotan dan pengrusakan di tanah dimaksud,” tuturnya.
Lebih lanjut, dugaan penyerobotan dan pengrusakan lahan tersebut, masih dalam tahap penyelidikan. Kini pihaknya tinggal menunggu hasil penataan batas lahan dari BPN, untuk kemudian dilakukan gelar perkara.
“Selanjutnya kami menunggu hasil identifikasi lapangan dari BPN, kita akan melakukan penyelidikan kembali dan nanti terakhir kita lakukan gelar perkara,” ungkapnya.
Ditempat yang sama Darmin, kuasa hukum masyarakat sekaligus terlapor dalam kasus ini, menyoroti penerbitan sertifikat yang dikeluarkan BPN untuk pelapor pada Tahun 2019. Pasalnya dalam proses pengurusan sertifikat, BPN sempat dihadang oleh para terlapor saat melakukan pengembalian batas.
“Dengan alasan masih ada hak-hak orang lain disini. Semestinya ketika terjadi persoalan dilapangan, BPN harus menangguhkan dulu prosesnya, jangan dulu ada proses penyertifikatan, karena masalah tanah ini belum selesai,” katanya.
Kendati demikian, Darmin akui, bahwa secara de facto pelapor kuasai lahan yang sementara disengketakan. Hanya saja, secara administrasi pengusulan hak milik pelapor dinilai cacat hukum, karena tidak ada surat dari Pemerintah Desa Popalia ataupun Kelurahan Anaiwoi dalam proses penerbitan sertifikat ke BPN.
Sehingga ia bersama masyarakat yang diduga melakukan penyerobotan dan pengrusakan mempertanyakan proses pemberian legalitas terhadap lahan yang kini dikuasai pelapor.
“Makanya kami bertanya, kenapa bisa terbit sertifikat, apa yang menjadi dasar penerbitan sertifikat, tentunya harus ada alas hak yang awal,” herannya.
Olehnya itu untuk sementara, pihaknya masih menunggu hasil penataan tanah dari BPN. Apabila sudah ketahui batas-batas lahan sesuai sertifikat yang dikeluarkan BPN, maka dirinya akan mengajukan gugatan pembatalan sertifikat.
Sementara itu, keluarga pelapor, Imran La Aci menerangkan, pernyataan Darmin mengenai penerbitan sertifikat karena tidak diawali dengan alas hak awal, dianggap keliru. Pertama, ia menegaskan, bahwa mereka sudah memiliki legalitas yang dikeluarkan Pemerintah Keluruhan Anaiwoi, sebagai syarat untuk penerbitan sertifikat.
“Tidak mungkin BPN menerbitkan SHM, jika tidak ada legalitas awal. Jadi kami anggap ini alibi atau pembenaran mereka untuk menyerobot dan merusak lahan kami,” ungkap Imran.
Kemudian kata dia, masyarakat yang datang menyerobot lahan milik keluarganya, bukan domisili Kelurahan Anaiwoi, melainkan domisili di Desa Popalia. Sehingga timbul argumen dari penyerobot ini, penerbitan sertifikat di BPN cacat administrasi, lantaran Kades Popalia tidak pernah mengeluarkan SKT.
“Bagaimana Kades Popalia mau keluarkan SKT, sementara posisi lahan kami berada di wilayah Kelurahan Anoiwoi, ini kan lucu. Ditambah alasan lain mereka, katanya ini adalah tanah adat atau ulayat, padahal Wakil Bupati Kolaka sebelumnya sudah mengatakan di Kecamatan Tanggetada tidak ada tanah ulayat,” urainya.
Selain itu, dalam kesempatan ini, Imran menduga bahwa Darmin adalah otak intelektual dibalik penyerobotan dan pengrusakan yang dilakukan sekelompok masyarakat Popalia di lahan milik keluarganya.
Bagaimana tidak, sejak pelaporan dugaan penyerobotan dan pengrusakan lahan bergulir di Tahun 2019 hingga saat ini, Darmin menyebut dirinya sebagai kuasa hukum dari masyarakat, sementara baru belakang ini Darmin diketahui baru menyelesaikan sumpah advokadnya.
Belum lagi, selama masalah ini berproses, Darmin tidak pernah memperlihatkan atau menunjukkan kuasa yang diberikan oleh masyarakat, untuk mendampingi mereka dalam menghadapi sengketa.
“Kami duga Darmin ini yang menggerakkan masyarakat untuk menyerobot dan merusak lahan kami yang sudah bersertifikat,” tukas Imran.
Editor: Redaksi