Integritas Dipertaruhkan: Sekda dalam Luka Tata Kelola Anggaran
SULTRACK.COM – Nama Sekda, Dr. Asrun Lio, yang disebut dalam pusaran penyidikan anggaran Kantor Penghubung Pemprov Sultra di Jakarta, menghadirkan guncangan moral di ruang sosial. Bagi masyarakat, Sekda adalah figur sentral, simbol birokrasi yang idealnya menjamin akuntabilitas, efisiensi, dan etika publik.
Maka ketika sosok itu harus menjelaskan dirinya di hadapan penyidik, muncul pertanyaan mendasar dari masyarakat: Jika di tingkat Sekda saja integritas dipertanyakan, bagaimana dengan lapisan di bawahnya?
Ketika seorang pejabat tinggi pemerintahan daerah, seperti Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, diperiksa dalam perkara dugaan penyalahgunaan anggaran, persoalannya tidak hanya berhenti pada dimensi hukum semata. Kasus ini menembus batas ruang pengadilan dan menyeruak ke tengah masyarakat sebagai cerminan luka yang belum sembuh dalam sistem tata kelola pemerintahan
Masyarakat Sulawesi Tenggara sudah lama dibayang-bayangi isu tata kelola anggaran yang lemah, program yang tidak merata, dan proyek yang mangkrak. Ketika berita tentang dugaan korupsi mencuat dari lembaga yang mestinya menjadi jembatan koordinasi antarwilayah (Kantor Penghubung), masyarakat awam kembali dihadapkan pada kenyataan pahit: birokrasi bukan hanya lambat, tetapi juga rawan diselewengkan.
Aspek yang paling menyakitkan adalah dampaknya terhadap kepercayaan sosial. Setiap kali ada kasus seperti ini, warga semakin skeptis terhadap agenda-agenda pemerintah. Program pembangunan yang semestinya menjadi instrumen perubahan sosial malah dicurigai sebagai sarana memperkaya kelompok tertentu. Ini adalah luka kolektif yang perlahan menggerogoti semangat partisipasi warga dalam pembangunan.
Bahkan lebih jauh, peristiwa ini menimbulkan efek domino, publik kehilangan teladan. Ketika elite birokrasi menjadi sorotan karena dugaan pelanggaran, maka masyarakat cenderung apatis. Hal ini berbahaya bagi pembangunan sosial jangka panjang. Karena sebagaimana etika mempengaruhi hukum, kepercayaan sosial juga mempengaruhi keberhasilan kebijakan. Tanpa legitimasi sosial, program terbaik pun akan sia-sia.
Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap Sekda sebagai saksi bukan hanya soal mengungkap benar atau salah dalam perspektif hukum, tetapi juga soal bagaimana negara merespons krisis kepercayaan. Harus ada komitmen untuk membuka informasi secara transparan, memulihkan etika publik, dan memastikan bahwa penegakan hukum tidak tebang pilih. Pejabat publik harus paham, jabatan adalah amanah, bukan kekebalan.
Kasus ini adalah cermin besar yang memperlihatkan retaknya sistem dari dalam namun cermin ini juga bisa jadi alat koreksi. Pemerintah Provinsi Sultra harus berani melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola anggaran, memperkuat pengawasan, dan membangun ulang kepercayaan publik, karena dari situlah legitimasi sosial pemerintahan dibangun.
Penulis: Dr Maulana Sauala Saputra, SH.,M.Kn