KENDARI, SULTRACK.COM – Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Enny Nurbaningsih menegaskan seseorang yang menjabat Wakil Menteri (Wamen), disebut sebagai pejabat negara.
Pernyataan Enny Nurbaningsih tersebut, diungkapkan saat sidang lanjutan uji materil Undang-Undang (UU) Advokat di Gedung MKRI yang menghadirkan Andre Dermawan sebagai pemohon, serta para pihak dari pemerintah mewakili Presiden, dan Organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Selasa (3/6/2025).
Dalam sidang tersebut, Enny menyikapi keterangan perwakilan pemerintah, Andri Indriyadi selaku Kepala Badan Strategi dan Kebijakan Kementerian Hukum RI, yang menyebut jabatan Wamen bukan merupakan pejabat negara, berdasarkan UU Aparatur Sipil Negara (ASN).
Lantas Enny dengan gamblang menjawab bahwa di dalam putusan MK Nomor 80 Tahun 2019 kaitannya dengan rangkap jabatan, sangat jelas diterangkan jabatan Wamen merupakan bagian dari pejabat negara, sekalipun putusan tersebut tidak diamarkan, akan tetapi masuk dalam pertimbangan hukum yang mengikat.
“Terhadap fakta demikian, sekalipun Wamen membantu Menteri dalam memimpin pelaksanakan tugas Kementerian, oleh karena pengangkatan Menteri dan Wamen hak proregatif presiden sebagaimana pengangkatan dan pemberhentian Menteri, maka Wamen harus ditempatkan pula sebagai pejabat, sebagaimana status yang diberikan kepada Menteri,” ucap Enny.
“Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku kepada menteri sebagaimana diatur di dalam Pasal 23 UU 38 Tahun 2008, juga berlaku bagi Wamen,” sambung Anggota Hakim MK ini.
Sehingga dengan demikian, Enny berharap pengangkatan Wamen kedepannya mesti disamakan statusnya antara kedudukan Menteri dan Wamen sebagai pejabat negara, serta larangan yang melekat kepada Menteri juga berlaku ke Wamen.
“Nanti tolong diperhatikan, karena ini memang kalau dirujuk ke situ mestinya ada penyesuaian kedepannya, jadi rumpunnya harus sama dengan Menterinya disitu,” pungkas Enny.
Sebagaimana diketahui, Uji Materil UU Advokat yang diajukkan Andre Dermawan, pengacara kondang yang berasal dari Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) ini, berangkat dari kasus pengangkatan Otto Hasibuan sebagai Wamen Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Koordinator Bidang Hukum Kementerian Hukum RI.
Otto Hasibuan diangkat oleh Presiden Prabowo Subianto untuk menduduki jabatan Wamen Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan PemasyarakatanWamen Koordinator Bidang Hukum Kementerian Hukum RI tertanggal 21 Oktober 2024.
Pengangkatan Otto Hasibuan, kemudian memicu perdebatan dikalangan profesi advokat. Sebab, disaat bersamaan, Otto Hasibuan masih menjabat sebagai Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi untuk periode 2020-2025.
“Merangkap jabatan negara, membuat organisasi Advokat tidak bebas dan mandiri, karena ada intervensi kekuasaan pemerintahan dalam organisasi Advokat, dan cenderung akan didominasi kelompok Advokat tertentu,” kata Andre.
Andre mencontohkan, saat Otto Hasibuan memimpin Rakernas DPN Peradi di Bali sebulan setelah diangkat jadi Wamen, Otto Hasibuan mendesak Mahkamah Agung (MA) mencabut Surat Edaran MA Nomor 73 tahun 2015 tentang Penyumpahan Advokat.
Selain itu, Otto menyarankan agar semua Advokat yang telah disumpah bergabung ke organisasi Peradi serta meminta MA hanya melakukan penyumpahan terhadap calon Advokat yang diusulkan Peradi.
Menurut Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Sultra ini, rekomendasi yang disampaikan Otto Hasibuan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Peradi tidak dapat dipisahkan dari kapasitasnya saat ini sebagai Wamen.
Sehingga ia mengatakan, rekomendasi tersebut dapat saja dimaknai sebagai rekomendasi dari Kementerian Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
“Rekomendasi ini bertentangan dengan kondisi faktual saat ini terkait banyaknya organisasi advokat yang secara de facto ada melaksanakan tugas dan fungsi organisasi advokat,” katanya.
Selain itu juga, lanjut Andre, bahwa rekom Peradi kepada MA tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 112/PUU-XII/2014 yang menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD NKRI 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pengadilan Tinggi atas perintah UU wajib mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi yang secara de facto ada yaitu Peradi dan KAI.
Ia pun menilai, justru tindakan Otto Hasibuan ada upaya melemahkan kelompok organisasi Advokat lainnya, dengan rekomendasi yang disampaikan ke MA.
Hal inilah yang kemudian ia tolak dengan mengajukan pengujian materil terhadap UU Advokat dengan harapan, ada pasal yang mengantur pimpinan organisasi Advokat tidak boleh merangkap jabatan negara.
Sebab alasan lainnya, akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest), karena tidak bisa memisahkan antara kepentingan individu atau kelompok organisasi dengan kepentingan tugas jabatannya sebagai pejabat negara.
“Bahkan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengabaikan putusan Mahkamah untuk kepentingan individu atau kelompok organisasi dan ke depan dapat dipastikan Prof. Dr. Otto Hasibuan SH, MH dalam kapasitasnya Wamem Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan,” pungkasnya.
Editor: Redaksi