Oleh: Andri Darmawan
Advokat, Pembela Kaum Lemah
SULTRACK.COM – Konflik agraria di Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, adalah potret kecil dari wajah buram reforma agraria Indonesia. Konflik ini telah berlangsung selama hampir tiga dekade. Namun hingga hari ini, penyelesaiannya masih terkatung di tengah pertarungan kepentingan antara masyarakat dan kekuatan modal, sementara negara justru tampak absen atau bahkan ikut terlibat.
Sejak tahun 1996, warga di Kecamatan Angata—yang sebagian besar adalah petani dari suku Tolaki—menghadapi tekanan dari perusahaan swasta yang hendak membangun perkebunan tebu skala besar. PT Sumber Madu Bukari (SMB), perusahaan pertama yang masuk ke wilayah tersebut, melakukan proses pembebasan lahan yang bermasalah. Warga yang telah menggarap lahan secara turun-temurun—bahkan sejak abad ke-19—dipaksa menerima ganti rugi jauh di bawah nilai kesepakatan.
Parahnya, penggusuran rumah dan kebun bahkan dilakukan sebelum pembayaran tuntas. Termasuk penghancuran sekitar 40 makam leluhur yang masih dijaga masyarakat. Penolakan warga dibalas dengan intimidasi dan kriminalisasi. Puncaknya, pada tahun 1999, terjadi pembakaran fasilitas perusahaan oleh warga sebagai bentuk protes. Perusahaan pun akhirnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta pada 2003.
Namun konflik tak berakhir di situ. Pada tahun 2012, PT Marketindo Selaras hadir sebagai entitas baru yang mengklaim sebagai penerus PT SMB. Perusahaan ini kembali melakukan penetrasi ke wilayah Angata tanpa dasar legalitas kepemilikan lahan yang jelas, khususnya Hak Guna Usaha (HGU). Masyarakat yang sejak pailitnya PT SMB telah kembali menggarap lahan secara mandiri selama lebih dari dua dekade, kini kembali dihadapkan pada ancaman penggusuran.
Dalam berbagai catatan lapangan, PT Marketindo Selaras disebut melakukan pendekatan yang kontroversial: pengukuran lahan tanpa persetujuan warga dan pemerintah lokal, dugaan manipulasi dokumen dukungan masyarakat, bahkan instruksi kepada karyawan untuk membawa senjata tajam saat penggusuran. Berbagai insiden kekerasan dilaporkan terjadi pada 2023 hingga awal 2025, termasuk penghancuran tanaman dan rumah warga.
Upaya mediasi telah dilakukan oleh pemerintah daerah, yang menghasilkan kesepakatan pada Oktober dan Agustus 2023. Intinya, perusahaan dilarang melakukan aktivitas di atas lahan seluas 1.300 hektare sebelum status kepemilikan diselesaikan sesuai hukum. Namun kesepakatan ini diabaikan. Negara kembali gagal menegakkan peraturan yang dibuatnya sendiri.
Ironisnya, keberpihakan negara justru tampak kabur. Kementerian ATR/BPN melalui Kanwil Sulawesi Tenggara bahkan disebut-sebut terlibat dalam pengukuran sepihak di atas lahan yang masih disengketakan. Surat permohonan pencekalan penerbitan HGU oleh masyarakat melalui organisasi Framathal-Bersatu diabaikan, meski telah mendapat atensi dari Direktorat Jenderal PPHTR.
Negara dan Keadilan yang Terpinggirkan
Padahal, dalam kerangka hukum nasional, konflik ini seharusnya menjadi perhatian utama dalam agenda Reforma Agraria. Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, PP No. 20 Tahun 2021, serta Permen ATR/BPN No. 20 Tahun 2021, menegaskan pentingnya penertiban tanah terlantar dan perlindungan bagi tanah-tanah yang telah digarap rakyat secara konsisten lebih dari 20 tahun.
Jika ketentuan tersebut ditegakkan, lahan yang telah digarap petani Angata sejak awal 2000-an jelas lebih layak dimasukkan ke dalam skema reforma agraria, ketimbang diserahkan kembali kepada entitas korporasi yang belum menyelesaikan tanggung jawab hukum dari masa lalu.
Kasus Angata seharusnya menjadi alarm keras bahwa konflik agraria di Indonesia tidak cukup diselesaikan dengan pendekatan mediasi administratif. Dibutuhkan keberanian politik, integritas hukum, dan keberpihakan yang jelas terhadap rakyat sebagai pemilik sah atas tanah yang mereka hidup di atasnya.
Mengapa Ini Penting?
Apa yang terjadi di Angata bukan hanya soal sengketa tanah. Ini adalah soal keadilan yang ditunda. Soal keberpihakan negara yang semakin kabur. Soal bagaimana hukum sering kali menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung masyarakat.
Jika negara terus memihak pada korporasi, membiarkan aparat digunakan sebagai alat tekanan, dan menutup mata pada suara petani—maka narasi reforma agraria hanya akan menjadi hiasan di atas kertas. Dan tanah, yang semestinya menjadi sumber hidup, justru berubah menjadi medan pertempuran.
Petani Angata tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya menuntut hak. Dan ketika rakyat harus melawan demi hak mereka sendiri, di situlah negara telah gagal menjalankan perannya.