Oleh: Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)
SULTRACK.COM – Wakatobi bukan hanya kebanggaan Sulawesi Tenggara. Ia adalah kebanggaan dunia. Gugusan karang, ikan-ikan warna-warni, dan laut sebening kaca menjadikan kawasan ini ibarat surga kecil yang jatuh ke bumi. Tapi hari ini, Wakatobi tengah terluka. Bukan karena badai atau gelombang tinggi, tapi karena tangan manusia sendiri.
Pada Jumat, 7 Juni 2025, masyarakat digegerkan oleh dugaan kerusakan terumbu karang di sekitar Pulau Sawa, Kecamatan Kaledupa. Kerusakan ini diduga akibat aktivitas kapal tongkang milik PT Wakatobi Dive Resort (WDR), yang melakukan bongkar muat material pembangunan. Hanya dalam hitungan jam, sebuah kawasan yang bertahun-tahun dijaga oleh alam dan masyarakat rusak oleh kesalahan prosedur yang seharusnya bisa dihindari.
Menanggapi hal ini, organisasi masyarakat Central Aspirasi dan Koordinasi Masyarakat Wakatobi (Cakrawa) menggelar konferensi pers pada Ahad, 9 Juni 2025, di Wangi-wangi. Dalam pernyataannya, mereka menuntut agar pihak berwenang menindak tegas kerusakan ini sesuai ketentuan hukum lingkungan hidup. (bursabisnis.id, 10 Juni 2025).
Karang Pondasi Kehidupan Laut Yang Rawan
Sebagai kawasan konservasi nasional dan Cagar Biosfer Dunia yang diakui UNESCO, Wakatobi memiliki lebih dari 750 jenis karang dari total 850 yang dikenal di dunia. Terumbu karang adalah pondasi kehidupan laut. Ia bukan sekadar pemandangan, tapi rumah bagi jutaan makhluk laut. Ketika karang rusak, maka seluruh mata rantai ekosistem bisa terganggu.
Kerusakan ini bukan hanya urusan ekologis, tapi juga berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat pesisir. Banyak nelayan dan pelaku wisata lokal bergantung pada kelestarian laut. Maka ketika kerusakan terjadi, yang terdampak bukan hanya alam, tapi juga kehidupan manusia.
Pembangunan Perlu, Tapi Tidak Boleh Merusak
Tidak ada yang menolak kemajuan. Masyarakat Wakatobi pun menginginkan pembangunan, infrastruktur, dan penghidupan yang lebih baik. Namun pembangunan seharusnya tidak menabrak batas. Apalagi bila menyangkut kawasan konservasi. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana proses perizinan proyek seperti ini dilakukan? Apakah sudah benar-benar mempertimbangkan risiko ekologisnya?
Dalam banyak kasus, pembangunan wisata seringkali hanya mempertimbangkan daya tarik ekonomi. Laut dan alam menjadi daya jual, tapi tidak jarang juga menjadi korban. Logika investasi yang terlalu dominan dalam kebijakan publik membuat kepentingan lingkungan sering tersisih. Bahkan pengawasan terhadap dampak kerusakan pun sering lemah.
Sistem Yang Tidak Berpihak Pada Kelestarian
Jika ditelusuri lebih dalam, kasus seperti ini menunjukkan bahwa masalah utamanya bukan semata kelalaian teknis. Ini adalah cerminan dari sistem tata kelola yang menempatkan alam sebagai objek eksploitasi. Di sistem hari ini, keberlanjutan lingkungan seringkali menjadi nomor dua setelah keuntungan finansial.
Meski Indonesia memiliki berbagai regulasi lingkungan, seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaksanaannya masih sering lemah. Banyak pelaku usaha yang tetap melanggar, dan hukuman yang dijatuhkan seringkali tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Sistem ekonomi kapitalistik memang dirancang untuk mengejar keuntungan. Dalam sistem ini, lingkungan hidup hanya dinilai dari potensi profit yang bisa diambil. Jika tidak diubah secara menyeluruh, kasus seperti ini akan terus terulang di berbagai tempat.
Islam Menjaga Alam Sebagai Amanah
Islam menawarkan cara pandang yang berbeda terhadap alam. Dalam pandangan Islam, bumi dan seluruh isinya adalah ciptaan Allah yang dititipkan kepada manusia untuk dijaga, bukan dirusak.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)
Dalam sistem Islam, laut termasuk bagian dari kepemilikan umum. Ia tidak bisa dimiliki atau dikuasai oleh individu atau perusahaan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Artinya, laut seperti di Wakatobi adalah milik seluruh umat, bukan ruang bisnis segelintir korporasi. Negara dalam sistem Islam wajib memastikan bahwa pemanfaatan kawasan laut dilakukan dengan penuh kehati-hatian, dan demi maslahat seluruh rakyat, bukan keuntungan satu kelompok.
Selain itu, dalam sistem Islam, pemimpin bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat dan kepada Allah. Ia wajib menerapkan kebijakan yang mencegah kerusakan, dan menjatuhkan sanksi tegas bagi pelanggar, demi menjaga amanah kekuasaan yang diembannya.
Harapan Untuk Wakatobi
Masyarakat Wakatobi tidak menuntut lebih. Mereka hanya ingin laut tetap biru, karang tetap utuh, dan hidup tetap tenang seperti dulu. Mereka ingin pembangunan yang menghargai alam, bukan mengorbankannya. Dan mereka ingin suara mereka didengar.
Sudah saatnya kita tidak hanya menyelesaikan persoalan ini dari permukaan. Kita perlu menyentuh akar masalahnya yaitu sistem yang mengatur hidup kita hari ini. Sistem yang sering mengorbankan lingkungan demi investasi. Dan sistem yang tidak mengenal prinsip “menjaga alam sebagai amanah dari Tuhan”.
Islam tidak hanya memberi petunjuk soal ibadah. Ia memberi panduan menyeluruh dalam mengelola alam, menjaga kehidupan, dan menata masyarakat. Dan kini saatnya kita kembali melihat Islam bukan hanya sebagai agama, tapi juga sebagai solusi bagi kehidupan, termasuk dalam menjaga laut Wakatobi tetap lestari. Wallahu’alam