KENDARI, SULTRACK.COM – Persatuan Pemuda Pemerhati Daerah (P3D) Konawe Utara (Konut) mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) dan pemerintah pusat segera melakukan audit menyeluruh terhadap aktivitas produksi dan penjualan CV Unaaha Bhakti Persada (UBP).
Desakan tersebut disampaikan karena P3D Konut menilai wilayah IUP CV UBP diduga sudah tidak lagi memiliki potensi sumber daya alam berupa ore nikel. Namun, aktivitas pengapalan melalui Terminal Khusus (Tersus) milik perusahaan itu justru semakin masif. Kondisi ini memunculkan dugaan bahwa cargo yang dijual berasal dari luar wilayah IUP perusahaan milik saudara Bupati Konawe tersebut.
Ketua P3D Konut, Jefri, menegaskan bahwa audit produksi dan penjualan menjadi langkah penting untuk memastikan transparansi serta kepatuhan perusahaan terhadap aturan, khususnya terkait pengelolaan sumber daya alam, Rabu (3/12/2025).
Aktivis yang akrab disapa Jeje itu menyebut adanya sejumlah indikasi ketidaksesuaian data aktivitas perusahaan, sehingga perlu diverifikasi secara independen oleh kementerian teknis dan lembaga penegak hukum.
“Kami meminta APH, baik Kepolisian, Kejaksaan hingga KPK jika diperlukan, bersama pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM dan instansi terkait, untuk turun melakukan audit total. Ini penting untuk memastikan apakah produksi dan penjualan yang dilaporkan sesuai kondisi di lapangan,” tegasnya.
Menurutnya, audit juga dibutuhkan untuk memastikan apakah ore nikel yang dijual betul-betul berasal dari wilayah IUP CV UBP atau justru bersumber dari luar, termasuk kemungkinan diambil dari kawasan hutan tanpa dilengkapi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Ia menegaskan, jika ditemukan pelanggaran, penindakan harus dilakukan secara tegas.
“Pengawasan negara tidak boleh tumpul. Jika ada permainan data atau manipulasi dokumen, itu bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi dapat mengarah pada tindak pidana. Pengelolaan SDA harus transparan, akuntabel, dan memberi manfaat nyata bagi daerah,” ujarnya.
Jeje juga menyampaikan bahwa pihaknya dalam waktu dekat akan melayangkan laporan resmi ke KPK dan Kejaksaan Agung.
“Kami berharap laporan ini ditindaklanjuti, bukan hanya disimpan di meja. Audit lapangan harus dilakukan agar kondisi sebenarnya terlihat jelas,” tambahnya.
Selain itu, Jeje turut menyoroti kinerja Satgas PKH yang dinilainya tebang pilih dalam penindakan.
“Aneh juga ini Satgas PKH, kok bisa CV UBP terlewatkan. Patut diduga ada permainan mata,” katanya.
Ia juga mendesak Bareskrim Tipidter Mabes Polri mengusut dugaan aktivitas pertambangan di lahan koridor (lahan celah) antara IUP CV UBP dan PT Antam Tbk, serta lahan celah PT MDS.
“Saya menduga ada permainan dengan memanfaatkan Surat Perintah Kerja (SPK) CV UBP untuk melakukan kegiatan di lahan celah tersebut,” pungkasnya.
Temuan Audit BPK
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pengelolaan mineral dan batu bara, terungkap dugaan pelanggaran serius di sektor pertambangan yang berpotensi merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah. Salah satu perusahaan yang disebut dalam laporan tersebut ialah CV UBP.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Nomor 8/LHP/XVII/05/2023 terkait Pengelolaan Mineral dan Batu Bara Tahun 2020 hingga Triwulan III 2022, BPK mencatat terdapat 6.153 perusahaan tambang yang belum melunasi kewajiban PNBP dan belum dikenai sanksi penghentian aktivitas. Salah satunya adalah CV UBP yang, berdasarkan hasil uji aplikasi e-PNBP Minerba pada 25–26 April 2021, masih melakukan transaksi penjualan nikel meski memiliki tunggakan royalti sebesar Rp4,69 miliar.
Padahal, sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 1823K/30/MEM/2018, perusahaan yang tak melunasi PNBP dalam 60 hari setelah terbitnya Surat Tagihan Ketiga (ST-3) wajib dikenai sanksi pencabutan IUP.
Audit lanjutan melalui LHP BPK Nomor 23.b/LHP/XVII/05/2024 juga mengungkap celah dalam sistem aplikasi e-PNBP. Analisis data transaksi CV UBP sepanjang 2022 mencatat 40 transaksi pengapalan dengan total tonase 369.216,38 ton dari kuota RKAB 800.000 ton. Terdapat selisih 430.783,62 ton yang tidak tercatat secara resmi.
BPK juga menemukan perubahan nilai royalti dan harga jual hingga 30–62 kali submit dalam satu transaksi, sebagai indikasi adanya rekayasa data.
Dengan harga jual rata-rata Rp471.665,97 per ton, selisih kuota tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara mencapai Rp202,9 miliar.
Editor: Redaksi






























